Taka, dengan nama ilmiah Tacca leontopetaloides (L.) Kuntze, merupakan salah satu jenis umbi-umbian liar yang memiliki kandungan karbohidrat sangat tinggi sehingga jenis ini sangat ber-potensi dikembangkan lebih lanjut sebagai sumber pangan alternatif untuk menunjang program diversifikasi menuju kemandirian pangan. Masyarakat umum mengenal jenis ini dengan berbagai nama daerah, seperti jalawure (Garut), kecondang (Karimunjawa), o t o’o (Madura: Desa Langsar, Sumenep), lorkong atau to’toan (Kangean) serta nubong atau genubong (Pulau Bangka-Belitung).
Taka terkenal dengan nama gadung tikus, kecondang, dan taka laut (Djarwaningsih dkk. 2006). Tumbuhan ini mempunyai kandungan pati (amilosa dan amilopektin), yang mirip dengan kentang. Umbi segarnya tidak dapat langsung dikonsumsi karena mengandung senyawa takalin yang menyebabkan rasa pahit. Tepung yang sudah diproses dapat digunakan sebagai bahan adonan kue, pasta, dan puding. Bubur taka yang dicampur dengan gula, santan, atau jus buah dapat membantu mengatasi penderita penyakit pencernaan.
Selain sebagai sumber pangan alternatif, umbi dan akar beberapa jenis Tacca, seperti T. leontopataloides, T. chantrieri, T. plantaginea, dan T. paxiana, telah diteliti mengandung senyawa taccalin dan taccalinolides,yang berpotensi sebagai senyawa antikanker (Risinger dan Mooberry 2010). Adanya senyawa yang berpotensi sebagai antikanker pada tanaman memiliki hubungan erat dengan radikal bebas sehingga diperlukan senyawa antioksidan untuk mencegahnya.
Perbanyakan Tananam Taka
Perbanyakan secara generatif dapat dilakukan menggunakan biji, sedangkan perbanyakan secara vegetatif menggunakan umbi. Taka mempunyai dua macam umbi, yaitu umbi empu (parent tuber) dan umbi anak (peripheral tuber). Biji dan umbi taka tidak segera tumbuh setelah ditanam karena mengalami dormansi. Oleh karena itu, dalam pembudidayaan taka, perlu dilakukan pemecahan dormansi pada umbi dan biji.
Lingkungan Tumbuh Tanaman Taka
Kondisi Iklim
Taka merupakan tumbuhan berumbi yang banyak ditemukan hidup di tepi laut hingga pada ketinggian 220 m dari permukaan laut (Wawo dkk. 2011). Rekaman data yang diperoleh dari habitat asli taka menunjukkan suhu udara minimum yang dibutuhkan untuk pertumbuhan berkisar 23–25°C dan suhu maksimum hingga 42–43°C. Dari rentang suhu tersebut, kisaran suhu udara 30–40°C merupakan suhu optimal untuk pertumbuhan tanaman taka.
Sementara itu, kelembapan udara berkisar 40–60%. Namun, tanaman taka toleran terhadap kelembapan udara 80% pada musim hujan. Curah hujan optimum untuk pertum-buhan taka adalah 1.000–2.600 mm per tahun.
Tanaman taka muda sangat membutuhkan naungan ringan pohon di sekitarnya, yakni pada intensitas cahaya 50–70% (Utami dkk. 2013; 2014). Setelah dewasa, tanaman ini menyukai daerah terbuka, tetapi masih dapat tumbuh baik dibawah naungan ringan (Utami dkk.2014).
Taka tumbuh optimal pada intensitas cahaya 2.600–55.000 lux. Tumbuhan taka membutuhkan intensitas cahaya minimal 350 lux dan maksimum 143.000 lux untuk tumbuh normal. Intensitas cahaya juga dipengaruhi oleh posisi tempat (altitude dan latitude).
Kondisi Tanah
Habitat alami taka adalah daerah pantai dan sekitarnya. Tanaman ini tumbuh bersama dengan Casuarina sp., Pandanus sp., Scaevola sp., Barringtonia sp., dan Eucalyptus sp. dalam ekosistem pantai hingga ketinggian 220 mdpl (Jukema dan Paisooksantivatana 1996).
Taka juga tumbuh di padang rumput, padang alang-alang, belukar, sabana, hutan primer atau hutan sekunder yang lembap atau kering, dan perkebunan kelapa.
Dari sejumlah eksplorasi yang dilakukan di Pulau Jawa dan pulau-pulau kecil di sekitarnya, diketahui bahwa taka dapat tumbuh pada berbagai tipe tanah (Syarif dkk. 2014). Namun, perbedaan struktur tanah menyebabkan variasi pada pertumbuhan dan produksi umbi taka.
Hasil analisis tanah menunjukkan umbi taka cenderung berukuran besar pada kondisi pH tanah 6,5 hingga basa.
Produksi umbi taka cenderung tinggi pada tekstur tanah yang didominasi pasir. Hal ini terjadi karena tanah berpasir mengandung pori-pori berukuran makro (Hardjowigeno 2003) yang mudah ditembus stolon sehingga mempermudah proses pembentukan umbi.
Tekstur tanah lempung dan liat menyebabkan umbi taka lebih kecil dengan bobot beragam.
Tanah liat yang bersifat padat cenderung menghambat daerah jelajah akar dan menyebabkan umbi menjadi gepeng. Tanah liat juga banyak menyimpan air sehingga umbi menjadi mudah busuk.
Namun, bukan tidak mungkin, ketika bertanam taka pada tekstur tanah yang demikian, pemberian bahan organik yang kaya nitrogen dapat memperbaiki pertumbuhan tanaman.
Taka membutuhkan unsur hara makro berupa nitrogen dan kalium yang tinggi (Syarif 2015). Oleh karena itu, wilayah yang sesuai untuk pertumbuhan taka adalah lokasi yang kaya akan bahan organic dengan kadar kalium tinggi, hasil dari pelapukan batang kayu, jerami padi, dan jagung.
Kondisi Lingkungan
Selain kondisi tanah dan iklim, kondisi lingkungan sekitar, seperti spesies yang hidup bersama taka, memengaruhi pertumbuhan tanaman taka. Penelusuran habitat taka ke beberapa daerah di Pulau Jawa dan pulau-pulau kecil di sekitarnya (Syarif dkk. 2014) menghasilkan informasi berikut ini :
Taka yang hidup bersama bambu di daerah tepus dan Gunung Batur, Yogyakarta, memproduksi umbi yang kecil. Letak umbi juga cenderung jauh dari permukaan tanah.
Hal yang sama ditemukan pada taka yang tumbuh sebagai tanaman lantai pada hutan pantai di Kepulauan Karimunjawa. Dalam laporan lain, dikemukakan bahwa taka yang hidup bersama alang-alang, baik di Kepulauan Karimunjawa, Pulau Bangka, maupun Pulau Krakatau, biasanya memiliki umbi yang besar dan letaknya lebih dekat dari permukaan tanah.
Kecilnya umbi dan letaknya yang berada jauh dari permukaan tanah terjadi mungkin karena intensitas cahaya terlalu rendah.
Penelitian Utami dkk. (2013; 2014) juga menyebutkan intensitas cahaya di bawah 50% saja sudah mengganggu pertumbuhan tanaman taka dewasa dan pada akhirnya mengganggu produksi umbinya.
Kondisi perakaran tanaman yang dalam juga bisa mengganggu proses pembentukan umbi taka sehingga umbi baru bisa terbentuk setelah melewati daerah intensif perakaran pepohonan yang menaunginya. Faktor genetik juga dapat menjadi salah satu alasan kecilnya umbi taka yang tumbuh di daerah tersebut.
Berdasarkan pada laporan Wawo dkk. (2013), taka dari wilayah Yogyakarta tetap memiliki perawakan yang kecil saat ditanam di luar habitatnya.
Sebaliknya, taka yang tumbuh bersama alang-alang menghasilkan umbi dengan letak yang lebih dekat dari permukaan tanah. Ini karena akar alang-alang yang bersifat dangkal.
Fakta bahwa taka bisa tumbuh subur di padang alang-alang menunjukkan bahwa tanaman ini dapat beradaptasi baik pada lahan suboptimal. Alang-alang (Imperata cylindrica) diketahui mengeluarkan alelopati pada akarnya yang dapat mematikan banyak spesies yang tumbuh di sekitarnya.
Hal ini juga menunjukkan bahwa taka memiliki daya saing yang kuat dalam hal penyerapan unsur hara dengan alang-alang. Ini juga penting sebagai sumber gen plasma nutfah kalau ingin memperbaiki karakter unggul umbi yang lain melalui persilangan atau transfer gen. Karakter ini merupakan informasi keunggulan taka untuk pemuliaan tanaman.
Sumber : Erlinawati, Ina dkk (2018). Taka Tacca leontopetaloides untuk Kemandirian Pangan. Jakarta: LIPI.
Posting Komentar
0Komentar